Punya Rumah Tanpa KPR (bagian 1)

Tulisanku berjudul Direm Dulu pada bab pertama di atas itu berisi nasehat, yang kalo diperas jadi sebuah kalimat doang, intinya begini: Jika kita punya keinginan memiliki suatu barang yang bersifat konsumtif tapi ngga punya uang, maka direm dulu, jangan sampe jatuhnya hutang bank.
Misalnya kaya aku sekarang pengen Wacom Cintiq 13HD. Harganya 14 juta lebih.
Aku bisaaaaa tuh gampil utang bank buat beli. Tapi aku memilih untuk ngerem dulu.
Biar lah sementara ini gambar manual. Nanti, misalnya gambarku laku dan ada rejeki dari situ, bolehlah kupake beli Wacom Cintiq. Itu pun kata Mama K, “Kalo dikontrak lagi bikin komik.” Yeah yeaah.

Nah akan tetapi, ketika tulisan Direm Dulu itu dipublish, biasanya larinya komentar temen- temenku kok ke masalah kepemilikan rumah, yang saat ini memang konon sulit dimiliki tanpa ambil KPR.

Padahal rumah bukan barang konsumtif. Itu kebutuhan primer. Udah kutulis di tulisanku yang itu. Dan tetep lah temen-temen bahasnya ke rumah lagi ke rumah lagi.
Emang kenapa sih om kok ga mau bahas soal rumah?
Hmmhh (seka keringet).
Tapi ini juga bahas rumah juga ding. Nekad.
Apakah omsqu pernah ambil KPR?
Kalo itu yang ditanya, maka kujawab aku ngga pernah. Tapi kalo ditanya lalu bagaimana bisa punya rumah?
Nah ini.

Kebetulan -alhamdulillah- baik dari keluargaku maupun keluarga istriku meninggalkan tinggalan tanah dan rumah sederhana buat kami. Waktu itu nilai bangunan rumahnya hanya sekitar delapan jutaan. Yang lalu kurenovasi kubangun sedikit demi sedikit jadi rumah yang lebih layak huni bagi kami. Kalo harga tanahnya ngga tau. Tapi aku beli tanah kavling di kampung, satu kavling nya sekitar 15 jutaan (murah ya).

Wow wow murah amaat om?
Ya kan memang di desa. Mampunya di desa ya di desa. Kami ngga mungkin ngelihat ke atas pengen beli rumah di perumahan elit di Jakarta harga enam ratus jutaan. Pake uang siapa? Itu sebab kita diajarin supaya melihat ke bawah.
Karena itu kami memilih kontrak rumah di Jakarta.
Ada tetangga komplek yang nanya aku kerja dimana. Setelah kujawab dimana aku bekerja, dia langsung bilang, “Waaah ambil aja rumah di sini.”
Lhah, sekali lagi uangnya siapa yang dipake?

Sahabat fillah,
Itu lah sebabnya aku merasa, mungkin aku ngga pantes kalo menasehati tentang rumah. Kuatir nanti akan dibalik dengan pertanyaan, “Kalo om beli rumah sendiri dengan uang sendiri tanpa berhutang, baru kasih tau caranya ke kami disini, lha ini rumahnya hasil di kasih ortu.”
Misalnya begitu, dan aku kuatir jawabanku tidak bisa memuaskan.

Pasti rumahnya omsqu mewah ya?
Lho iya. Mepet sawah. Kami tinggal di desa. Di komikku kugambar kok tentang rumahku. Hayo udah beli komikku kan Pengen Jadi Baik? Dapatkan di Gramedia, Gunung Agung dan toko-toko buku terdekat di kotamu.
Di kampungku situ harga tanah murah. Harga bahan bangunan juga masih murah. Soal bagaimana punya rumah tanpa hutang bank, aku banyak diskusi ama temen-temen, baca dan googling, eh ternyata aku lupa cerita tentang lingkungan tempat tinggalku di desa. Mayoritas penduduk di kampungku bukan golongan ekonomi menengah ke atas, bukan pegawai dan tidak mengenal KPR. Banyak pasangan muda yang punya rumah dengan urutan:
1. Tinggal dulu bersama ortu / kost / kontrak sambil menabung (alangkah baiknya jika mereka menabung dalam bentuk emas, LM, dinar). Ada yang punya tanah pemberian dari ortu, tapi jika tidak ya beli tanah dulu sesuai kemampuan. (pedagang mie ayam – gerobak- yang dulu kontrak di rumah petak di kawasan belakang rumah mamiku suatu hari dia cerita udah beli tanah, (bersambung )